Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan

Описание: Sistem pemerintahan marga di Palembang telah terbentuk jauh sebelum abad ke-17 M, yaitu pada masa pemerintahan Sido Ing Kenayan. Istrinya bernama Ratu Sinuhun, dikenal sebagai penyusun hukum adat yang berlaku di Uluan Palembang yang kemudian dikenal, dengan nama Kitab Simbur Cahaya atau Undang-undang Simbur Cahaya.

Kepala marga atau pemimpin marga disebut sebagai Pasirah. Pada masa Kesultanan Palembang, sistem pemerintahan marga masih masih berlaku di uluan Palembang.

Kepala marga yang sudah lama memerintah mendapatkan penghargaan dari sultan dengan gelar pangeran, suatu gelar kehormatan bagi pemimpin marga.

Di dalam aturan kitab Simbur Cahaya ditetapkan nama-nama jabatan dalam marga dan tata cara pemilihan. Seperti pada aturan Marga pasal satu :
“didalam satu-satu marga, di tetapkan satu pasirah yang memerintah atas segala hal marganya dan itu pasirah orang banyak yang milih dan Raja yang angkat serta kasih nama”.

Pasal yang ke 2:
“Dibawah pasirah ditetapkan satu penggawa marga, kedudukannya diatas segala pengandang karna dia yang memerintah marga waktu pasirah berjalan atau lain-lain halnya.”

Pasal ke 3:
“ didalam dusun pasirah di tetapkan satu lebe penghulu yang kuasa Hakim serta satu khotib yang tolong atas pekerjaan Lebepenghulu.”

Dalam pemerintahan marga, aturan-aturan yang dipakai mengacu pada Undang-Undang Simbur Cahaya. Pemerintahan marga dalam Undang-Undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang pasirah, kerio, dan penggawa.

-Pembarap ialah kepala dusun (kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang pembarap mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang pasirah, apabila pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara atau kegiatan.

-Pasirah dan kerio, dibantu oleh penghulu dan ketib dalam penanganan urusan keagamaan.

-Kemit marga dan kemit dusun, ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.


Pemilihan Pesirah ataupun kepala dusun di pedalaman Palembang dilakukan dengan cara orang-orang yang memilihnya cukup membentuk barisan memanjang di belakang atau di depan tempat ia berdiri. Seperti terdapat dalam pasal 5 :
“ Jika Proatin, penggawa atau kaum akan berganti, sebab mati atau lain-lain, hendaklah orang banyak unjuk yang patut jadi gantinya dan pasirah membawa orang itu menghadap yang kuasa, didalam batang hari supaya diangkat”.

Pascakekuasaan Kesultanan Palembang Darusalam dihapuskan tahun 1825. Belanda mengangkat Van Sevenhoven sebagai Residen Pertama Palembang. Keresidenan Palembang dibagi atas beberapa afdeeling kecuali Ibukota Palembang. Masing-masing afdeeling dikepalai oleh seorang asisten residen. setiap afdeeling terdiri dari onder afdeeling yang dikepalai oleh seorang kontroler, setiap onder afdeeling terdapat marga-marga. Setiap marga dikepalai oleh pasirah.

Para penguasa lokal yang mau diajak kerja sama kepada Belanda, diangkat menjadi aparat pemerintah Belanda dan akan diberikan pangkat dan jabatan tertentu.
Selain itu, untuk melengkapi alat pemerintahan Belanda di Palembang dan daerah uluan maka tiap-tiap kelompok diangkat seorang pemimpin untuk mewakili golongannya. hal ini bertujuan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di Palembang, selain itu  pengangkatan Pasirah di Pedalaman Palembang juga berdasarkan pendidikannya.

Dengan kualifikasi tertentu, pasirah disebut pula sebagai depati dan pangeran. Seorang Pasirah, untuk dapat disebut sebagai depati apabila ia telah berhasil diipilih untuk memangku jabatan kepala marga paling lama dua kali berturut-turut, sedangkan pangeran ialah dipilih minimal lima kali berturut-turut.

Beberapa tindakan Belanda yang menunjuk dan mengangkat, kemudian memecat para pemimpin daerah silih berganti, menggambarkan betapa sulitnya Belanda untuk memaksakan kekuasaan di Palembang.

Pada tanggal 24 maret 1983, sistem marga di Sumatera Selatan dihapuskan melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No.142/KPTS/III/1983 tentang penghapusan sistem marga di Sumatera Selatan.
Implikasi undang-undang dan surat keputusan tersebut adalah rusaknya lembaga-lembaga tradisional dan adat bahkan marga sebagai sistem pemerintahan.

Sistem marga ini merupakan salah satu jati diri masyarakat adat, dimana ketika keluar surat keputusan tersebut maka jati diri masyarakat adat telah dicabut secara paksa.

salam Budaya Palembang Darussalam
sumber:
-Rahmat Muhidin, Penamaan Marga dan Sistem Sosial Pewarisan Masyarakat Sumatera Selatan (Balai Bahasa Sumatera Selatan)
-Iliran dan Uluan, Dedi Irwanto

#pasirah #palembang #sejarahpalembang